Wednesday, February 13, 2013

sistem ketatanegaraan indonesia pasca amandemen


Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen
CARA CEPAT DAN RINGKAS
MEMAHAMI PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN RI

Berikut merupakan uraian singkat hasil presentasi penulis sebagai pemakalah yang disampaikan pada Diskusi Ilmiah pada tanggal 17 Maret 2007 di Kedutaan Besar New Delhi. Kepada peminat hukum maupun para pengunjung yang berulang kali menanyakan materi tentang perubahan sistem ketatanegaraan kontemporer RI dan memerlukan soft copy (power point) pemaparan secara lengkap, dapat menghubungi penulis sebagai mana terlampir di akhir artikel singkat berikut ini.

A. PENDAHULUAN

Konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  • Penyelenggaraan negara berdasar Konstitusi.
  • Kekuasaan Kehakiman yang merdeka.
  • Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
  • Kekuasaan yang dijalankan berdasarkan atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan kebijakannya harus berdasarkan ketentuan hukum (due process of law ).
UUD 1945 --> Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman --> Lembaga Negara dan Organ yang Menyelenggarakan Kekuasaan Negara.

B. DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945
  1. Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
  2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
  3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
  4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
  5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
    a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden.
    b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat.
    c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
    d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.
C. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966:
  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU/PERPU
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Keputusan Presiden
  6. Peraturan Menteri
  7. Instruksi Menteri
Menurut TAP MPR III Tahun 2000:
  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU
  4. PERPU
  5. PP
  6. Keputusan Presiden
  7. Peraturan Daerah
Menurut UU No. 10 Tahun 2004:
  1. UUD 1945
  2. UU/PERPU
  3. Peraturan Pemerintah
  4. Peraturan Presiden
  5. Peraturan Daerah
D. KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945
  1. Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
  4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
  5. Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.
E. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945
Deskripsi Singkat Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum Amandemen UUD 1945:

Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

MPR
  • Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
  • Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan yang diangkat.
Dalam praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:
  • Presiden, sebagai presiden seumur hidup.
  • Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut turut.
  • Memberhentikan sebagai pejabat presiden.
  • Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya.
  • Tidak memperpanjang masa jabatan sebagai presiden.
  • Lembaga Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR.
PRESIDEN
  • Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
  • Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president).
  • Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
  • Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
  • Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
DPR
  • Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
  • Memberikan persetujuan atas PERPU.
  • Memberikan persetujuan atas Anggaran.
  • Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
DPA DAN BPK
  • Di samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.
F. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945
Deskripsi Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah” Amandemen UUD 1945:

Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Perubahan (Amandemen) UUD 1945:
  • Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.
  • Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim.
  • Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.
  • Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
  • Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
  • Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.
MPR
  • Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
  • Menghilangkan supremasi kewenangannya.
  • Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
  • Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu).
  • Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
  • Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
DPR
  • Posisi dan kewenangannya diperkuat.
  • Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
  • Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
  • Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
DPD
  • Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
  • Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
  • Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
  • Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
BPK
  • Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
  • Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
  • Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
  • Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
PRESIDEN
  • Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
  • Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
  • Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
  • Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
  • Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
  • Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
MAHKAMAH AGUNG
  • Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
  • Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
MAHKAMAH AGUNG
  • Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
  • Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
MAHKAMAH KONSTITUSI
  • Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).
  • Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
  • Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
·         Pendahuluan
Sistem ketatanegaraan kita pasca amandemen UUD 1945, sesungguhnya mengandung dimensi yang sangat luas, yang tidak saja berkaitan dengan hukum tata negara, tetapi juga bidang-bidang hukum yang lain, seperti hukum administrasi, hak asasi manusia dan lain-lan. Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan politik di tanah air, serta membawa implikasi perubahan yang cukup besar di bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan internasional.
Tentu semua cakupan masalah yang begitu luas, tidak dapat saya ketengahkan dalam ceramah yang singkat ini. Ceramah ini hanya akan menyoroti beberapa aspek perubahan konstitusi dan pengaruhnya terhadap lembaga-lembaga negara, yang menjadi ruang lingkup kajian hukum tata negara. Terkait dengan hal itu, saya tentu harus menjelaskan sedikit latar belakang sejarah, gagasan dan hasil-hasil perubahan, yang menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dengan UUD 1945 sebelum amandemen. Saya ingin pula mengetengahkan serba sedikit analisis, tentang kelemahan-kelemahan UUD 1945 pasca amandemen, untuk menjadi bahan telaah lebih mendalam, dan mungkin pula dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi penyempurnaan UUD 1945 pasca amandemen.
·        
UUD 1945 dan Perubahan
Sejak awal disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD itu sesungguhnya tidaklah dimaksudkan sebagai undang-undang dasar yang bersifat permanen. Ir. Soekarno yang mengetuai sidang-sidang pengesahan UUD itu dengan tegas menyebutkan bahwa UUD 1945 itu adalah undang-undang dasar sementara, yang dibuat secara “kilat�?. “Nanti�?, kata Soekarno, jika keadaan telah memungkinkan, kita akan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang akan menyusun undang-undang dasar yang lebih lengkap dan sempurna. Aturan Tambahan UUD 1945 telah secara implisit menyebutkan bahwa UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 itu, hanya akan berlaku 12 bulan lamanya. Dalam enam bulan sesudah berakhirnya Perang Asia Timur Raya, Presiden sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun segala peraturan dan membentuk lembaga-lembaga negara sebagaimana diatur oleh UUD 1945, termasuk membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam 6 bulan setelah MPR terbentuk, majelis itu sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun undang-undang dasar yang baru.        
Pemahaman dan penafsiran saya terhadap ketentuan Aturan Peralihan di atas, didasarkan atas notulen perdebatan dalam rapat-rapat pengesahan UUD 1945, yang menjadi latar belakang perumusan ketentuan Aturan Peralihan itu. Pemahaman itu didukung pula oleh fakta sejarah, dengan diterbitkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, yang menyerukan kepada rakyat untuk membentuk partai politik dalam rangka penyelenggaraan pemilihan umum, yang akan dilaksanakan tanggal 1 Februari 1946. Dalam maklumat itu antara lain dikatakan bahwa pemilu diperlukan agar pemerintahan negara kita dapat disusun secara demokratis. Mungkin dengan pemilihan umum itu, demikian dikatakan dalam maklumat, Pemerintah kita akan berubah, dan undang-undang dasar kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak.  Sayangnya pemilihan umum 1 Februari 1946 itu tidak dapat dilaksanakan. Situasi dalam negeri memburuk akibat kedatangan tentara sekutu yang diboncengi pasukan Belanda. Perang Kemerdekaan berkecamuk, pusat pemerintahan pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.         
·         Karena Pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka UUD 1945 tetap berlaku, sehingga digantikan dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, pada tanggal 27 Desember 1949. UUD inipun diganti lagi dengan UUD Sementara Tahun 1950, setelah bubarnya Republik Indonesia Serikat, dan kita kembali ke susunan Negara Kesatuan, tanggal 17 Agustus 1950. Pemilihan Umum 1955 telah menghasilkan terbentuknya Konstituante untuk menyusun UUD yang bersifat tetap. Namun majelis ini dibubarkan Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sebelum berhasil menyelesaikan tugasnya. Dekrit itu, dengan segala kontroversi yang terdapat di dalamnya, menegaskan berlakunya kembali UUD 1945. Jadi, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sampai tibanya era reformasi, sebenarnya tidak pernah terjadi “perubahanâ€�? undang-undang dasar. Apa yang terjadi ialah “pergantianâ€�? undang-undang dasar, dari yang satu ke yang lainnya, seperti saya uraikan tadi. Istilah yang saya gunakan ini, dijadikan sebagai acuan dalam perdebatan Badan Pekerja MPR, ketika membahas perubahan UUD 1945 di era reformasi.        
·         Pandangan saya bahwa UUD 1945 harus diubah mengingat latar belakang historis penyusunanannya, maupun tuntutan perkembangan zaman, bukanlah pendapat yang populer di era sebelum reformasi. Pendapat yang dikembangkan pada masa itu ialah UUD 1945 tidak dapat diubah. Kalau ingin diubah harus melalui referendum, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR. Saya berpendapat bahwa TAP MPR itu menyalahi ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Pendapat Profesor Notonagoro ketika itu, juga dijadikan pegangan, bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak boleh diubah. Jika pembukaan diubah, maka akan terjadi pembubaran negara. Banyak negara di dunia ini yang mengubah seluruh konstitusinya, tanpa menyebabkan bubarnya negara itu. Saya berpendapat, negara kita ini baru bubar, jika kita mencabut teks Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Negara kita sudah ada sejak tanggal 17 Agustus 1945, tanpa bergantung kepada UUD 1945 yang baru disahkan sehari kemudian.     
·         Ketidakinginan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 di zaman sebelum reformasi, bukanlah masalah hukum tata negara, tetapi masalah politik. Politik dapat menentukan diubah atau tidaknya UUD. Tentu perubahan itu dilakukan dengan cara-cara demokratis dan konstitusional. Di luar cara itu, adalah perubahan melalui revolusi. Jika cara ini ditempuh, maka sangat tergantung apakah tindakan itu dapat dipertahankan atau tidak. Jika berhasil, maka konstitusi itu akan diterima dan kemudian menjadi sah. Jika gagal, maka perubahan itu dengan sendirinya pula akan gagal. Mereka yang terlibat dalam revolusi yang berhasil, mungkin akan menjadi “pahlawanâ€�?. Sebaliknya kaum revolusioner yang gagal, mungkin akan dituduh sebagai “pengkhianatâ€�?.
·        
Latar Belakang Perubahan
Keinginan politik untuk mengubah UUD 1945 di era reformasi didorong oleh pengalaman-pengalaman politik selama menjalankan UUD itu dalam dua periode, yakni periode yang disebut sebagai Orde Lama (1959-1966) dan periode yang disebut sebagai Orde Baru (1966-1998). Seperti saya katakan di awal ceramah ini, UUD 1945 memang dibuat dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga mengandung segi-segi kelemahan, yang memungkinkan munculnya pemerintahan diktator, baik terang-terangan maupun terselubung, sebagaimana ditunjukkan baik pada masa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. UUD 1945 sebelum amandemen, memberikan titik berat kekuasaan kepada Presiden. Majelis Permusyawaratan Rakyat, meskipun disebut sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, dan penjelmaan seluruh rakyat, dalam kenyataannya susunan dan kedudukannya diserahkan untuk diatur dalam undang-undang.         
·         Presiden Soekarno bahkan mengangkat seluruh anggota MPR tanpa proses Pemilu. Presiden Soeharto telah merekayasa undang-undang susunan dan kedudukan MPR, sehingga majelis itu tidak berdaya dalam mengawasi Presiden, dan bahkan tidak dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara optimal. UUD 1945 juga mengandung ketidakjelasan mengenai batas periode masa jabatan Presiden. MPRS pernah mengangkat Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup. MPR Orde Baru berkali-kali mengangkat Presiden Soeharto, sampai akhirnya, atas desakan berbagai pihak, menyatakan berhenti di era awal reformasi, tanggal 21 Mei 1998. Keinginan untuk menghindari kediktatoran, baik terbuka maupun terselubung, dan membangun pemerintahan yang demokratis, menjadi latar belakang yang penting yang mendorong proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi.        
·         Keinginan untuk menata ulang kedudukan lembaga-lembaga negara, agar terciptanya “check and balancesâ€�? juga terasa begitu kuatnya. Demikian pula keinginan untuk memperjuangkan tegaknya hukum dan pengakuan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. Keinginan untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada daerah-daerah juga demikian menguat, sehingga kewenangan-kewenangan Pemerintah Daerah juga perlu diperkuat, untuk mencegah terjadinya disintegrasi. Pada akhirnya, keinginan yang teguh untuk membangun kesejahteraan rakyat, yang telah lama menjadi harapan dan impian, terasa demikian menguat pada era reformasi. Itulah antara lain, latar belakang keinginan dan aspirasi yang mengiringi perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Namun perubahan itu dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999, yang diikuti oleh partai-partai politik, baik lama maupun baru, yang ternyata tidak menghasilkan kekuatan mayoritas. Dalam situasi seperti itu, dapat dipahami jika perumusan pasal-pasal perubahan penuh dengan kompromi-kompromi politik, yang tidak selalu mudah dipahami dari sudut pandang hukum tata negara. Proses perubahan itu dipersiapkan oleh Panita Ad Hoc MPR, yang mencerminkan kekuatan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya. Akhinya terjadilah empat kali perubahan, dalam bentuk penambahan dan penghapusan ayat-ayat, namun secara keseluruhan, tetap terdiri atas 37 Pasal, yang secara keseluruhan, ternyata lebih banyak materi muatannya dari naskah sebelum dilakukan perubahan.
·         Meskipun terjadi empat kali perubahan, namun semua fraksi yang ada di MPR sejak awal telah menyepakati untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, pikiran-pikiran dasar bernegara sebagaimana termaktub di dalamnya, tetap seperti semula. Namun implementasi pikiran-pikiran dasar itu ke dalam struktur ketatanegaraan, sebagaimana akan saya jelaskan nanti, memang cukup besar. Kesepakatan untuk tidak mengubah Pembukaan ini, memang menunjukkan keinginan fraksi-fraksi untuk menghindari perdebatan yang bersifat filsafat dan ideologi, yang nampaknya memetik  pelajaran dari sejarah perdebatan, baik dalam proses penyusunan UUD 1945 di masa pendudukan Jepang maupun perdebatan-perdebatan yang sama di Konstituante. Dua fraksi, yakni Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Bulan Bintang memang mengusulkan perubahan ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, sebagaimana teks Piagam Jakarta, khusus yang berkaitan dengan syariat Islam. Namun perubahan itu tidak mereka tujukan kepada Pembukaan sebagaimana kedudukan awal dari Piagam Jakarta. Usul perubahan itu kemudian mereka tarik, mengingat kemungkina

No comments:

Post a Comment