Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen
CARA CEPAT DAN RINGKAS
MEMAHAMI PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN RI
Berikut
merupakan uraian singkat hasil presentasi penulis sebagai pemakalah yang
disampaikan pada Diskusi Ilmiah pada tanggal 17 Maret 2007 di Kedutaan Besar
New Delhi. Kepada peminat hukum maupun para pengunjung yang berulang kali
menanyakan materi tentang perubahan sistem ketatanegaraan kontemporer RI dan
memerlukan soft copy (power point) pemaparan secara lengkap,
dapat menghubungi penulis sebagai mana terlampir di akhir artikel singkat
berikut ini.
A. PENDAHULUAN
Konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
- Penyelenggaraan
negara berdasar Konstitusi.
- Kekuasaan
Kehakiman yang merdeka.
- Penghormatan
terhadap Hak Asasi Manusia.
- Kekuasaan
yang dijalankan berdasarkan atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan
kebijakannya harus berdasarkan ketentuan hukum (due process of law ).
UUD 1945
--> Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman --> Lembaga Negara dan
Organ yang Menyelenggarakan Kekuasaan Negara.
B. DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945
- Undang-Undang
Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan
tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat.
Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances
pada institusi-institusi ketatanegaraan.
- Undang-Undang
Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang
kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive
heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi
dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif
(antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan
kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
- UUD
1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga
dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal
7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
- UUD
1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk
mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang
kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting
sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
- Rumusan
UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung
ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang
demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi
manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya
praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945,
antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan
terpusat pada presiden.
b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi
masyarakat.
c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan
demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai
oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai,
justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.
C. HIERARKI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Menurut TAP
MPRS XX Tahun 1966:
- UUD
1945
- TAP MPR
- UU/PERPU
- Peraturan
Pemerintah
- Keputusan
Presiden
- Peraturan
Menteri
- Instruksi
Menteri
Menurut TAP
MPR III Tahun 2000:
- UUD
1945
- TAP MPR
- UU
- PERPU
- PP
- Keputusan
Presiden
- Peraturan
Daerah
Menurut UU
No. 10 Tahun 2004:
- UUD
1945
- UU/PERPU
- Peraturan
Pemerintah
- Peraturan
Presiden
- Peraturan
Daerah
D.
KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945
- Tidak
mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek
kesejarahan dan orisinalitasnya.
- Tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
- Mempertegas
Sistem Pemerintahan Presidensial.
- Penjelasan
UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan
dalam pasal-pasal.
- Perubahan
dilakukan dengan cara “adendum”.
E. LEMBAGA
NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945
Deskripsi
Singkat Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum Amandemen UUD 1945:
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat
diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan
kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang
sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK).
MPR
- Sebagai
Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power)
karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”
dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang
menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
- Susunan
keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan
golongan yang diangkat.
Dalam
praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:
- Presiden,
sebagai presiden seumur hidup.
- Presiden
yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut turut.
- Memberhentikan
sebagai pejabat presiden.
- Meminta
presiden untuk mundur dari jabatannya.
- Tidak
memperpanjang masa jabatan sebagai presiden.
- Lembaga
Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan memanfaatkan
kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR.
PRESIDEN
- Presiden
memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun
kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
- Presiden
menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of
power and responsiblity upon the president).
- Presiden
selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga
memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan
yudikatif (judicative power).
- Presiden
mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
- Tidak
ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai
presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
DPR
- Memberikan
persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
- Memberikan
persetujuan atas PERPU.
- Memberikan
persetujuan atas Anggaran.
- Meminta
MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban
presiden.
DPA DAN BPK
- Di
samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara
lain seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.
F. LEMBAGA
NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945
Deskripsi
Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah” Amandemen UUD 1945:
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian
kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan
yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Perubahan (Amandemen) UUD 1945:
- Mempertegas
prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan
menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka,
penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas
prinsip due process of law.
- Mengatur
mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti
Hakim.
- Sistem
konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances)
yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi
masing-masing.
- Setiap
lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
- Menata
kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga
negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara
berdasarkan hukum.
- Penyempurnaan
pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan
dengan perkembangan negara demokrasi modern.
MPR
- Lembaga
tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya
seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
- Menghilangkan
supremasi kewenangannya.
- Menghilangkan
kewenangannya menetapkan GBHN.
- Menghilangkan
kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung
melalui pemilu).
- Tetap
berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
- Susunan
keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui
pemilu.
DPR
- Posisi
dan kewenangannya diperkuat.
- Mempunyai
kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR
hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan
RUU.
- Proses
dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
- Mempertegas
fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
DPD
- Lembaga
negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah
dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan
daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
- Keberadaanya
dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
- Dipilih
secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
- Mempunyai
kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan
kepentingan daerah.
BPK
- Anggota
BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
- Berwenang
mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah
(APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan
ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
- Berkedudukan
di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
- Mengintegrasi
peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan
ke dalam BPK.
PRESIDEN
- Membatasi
beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan
pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem
pemerintahan presidensial.
- Kekuasaan
legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
- Membatasi
masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
- Kewenangan
pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
- Kewenangan
pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
- Memperbaiki
syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden
menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai
pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
MAHKAMAH
AGUNG
- Lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan
peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
- Berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di
bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
MAHKAMAH
AGUNG
- Di bawahnya
terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN).
- Badan-badan
lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan
lain-lain.
MAHKAMAH
KONSTITUSI
- Keberadaanya
dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the
constitution).
- Mempunyai
kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar
lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil
pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
- Hakim
Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah
Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga
mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif,
legislatif, dan eksekutif.
·
Pendahuluan
Sistem
ketatanegaraan kita pasca amandemen UUD 1945, sesungguhnya mengandung dimensi
yang sangat luas, yang tidak saja berkaitan dengan hukum tata negara, tetapi
juga bidang-bidang hukum yang lain, seperti hukum administrasi, hak asasi
manusia dan lain-lan. Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan
politik di tanah air, serta membawa implikasi perubahan yang cukup besar di
bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan internasional.
Tentu semua cakupan masalah yang begitu luas, tidak dapat saya ketengahkan
dalam ceramah yang singkat ini. Ceramah ini hanya akan menyoroti beberapa aspek
perubahan konstitusi dan pengaruhnya terhadap lembaga-lembaga negara, yang
menjadi ruang lingkup kajian hukum tata negara. Terkait dengan hal itu, saya
tentu harus menjelaskan sedikit latar belakang sejarah, gagasan dan hasil-hasil
perubahan, yang menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dengan UUD 1945 sebelum
amandemen. Saya ingin pula mengetengahkan serba sedikit analisis, tentang
kelemahan-kelemahan UUD 1945 pasca amandemen, untuk menjadi bahan telaah lebih
mendalam, dan mungkin pula dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi
penyempurnaan UUD 1945 pasca amandemen.
·
UUD
1945 dan Perubahan
Sejak awal disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD itu
sesungguhnya tidaklah dimaksudkan sebagai undang-undang dasar yang bersifat
permanen. Ir. Soekarno yang mengetuai sidang-sidang pengesahan UUD itu dengan
tegas menyebutkan bahwa UUD 1945 itu adalah undang-undang dasar sementara, yang
dibuat secara “kilat�?. “Nanti�?, kata Soekarno, jika keadaan telah
memungkinkan, kita akan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang akan
menyusun undang-undang dasar yang lebih lengkap dan sempurna. Aturan Tambahan
UUD 1945 telah secara implisit menyebutkan bahwa UUD 1945 yang disahkan tanggal
18 Agustus 1945 itu, hanya akan berlaku 12 bulan lamanya. Dalam enam bulan
sesudah berakhirnya Perang Asia Timur Raya, Presiden sudah harus menyelesaikan
tugasnya menyusun segala peraturan dan membentuk lembaga-lembaga negara
sebagaimana diatur oleh UUD 1945, termasuk membentuk Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Dalam 6 bulan setelah MPR terbentuk, majelis itu sudah harus
menyelesaikan tugasnya menyusun undang-undang dasar yang
baru.       Â
Pemahaman dan penafsiran saya terhadap ketentuan Aturan Peralihan di atas,
didasarkan atas notulen perdebatan dalam rapat-rapat pengesahan UUD 1945, yang
menjadi latar belakang perumusan ketentuan Aturan Peralihan itu. Pemahaman itu
didukung pula oleh fakta sejarah, dengan diterbitkannya Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945, yang menyerukan kepada rakyat untuk membentuk partai
politik dalam rangka penyelenggaraan pemilihan umum, yang akan dilaksanakan
tanggal 1 Februari 1946. Dalam maklumat itu antara lain dikatakan bahwa pemilu
diperlukan agar pemerintahan negara kita dapat disusun secara demokratis.
Mungkin dengan pemilihan umum itu, demikian dikatakan dalam maklumat,
Pemerintah kita akan berubah, dan undang-undang dasar kita akan disempurnakan
menurut kehendak rakyat yang terbanyak. Sayangnya pemilihan umum 1
Februari 1946 itu tidak dapat dilaksanakan. Situasi dalam negeri memburuk
akibat kedatangan tentara sekutu yang diboncengi pasukan Belanda. Perang
Kemerdekaan berkecamuk, pusat pemerintahan pindah dari Jakarta ke
Yogyakarta.        Â
·
Karena Pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka UUD 1945
tetap berlaku, sehingga digantikan dengan Konstitusi Republik Indonesia
Serikat, pada tanggal 27 Desember 1949. UUD inipun diganti lagi dengan UUD
Sementara Tahun 1950, setelah bubarnya Republik Indonesia Serikat, dan kita
kembali ke susunan Negara Kesatuan, tanggal 17 Agustus 1950. Pemilihan Umum
1955 telah menghasilkan terbentuknya Konstituante untuk menyusun UUD yang
bersifat tetap. Namun majelis ini dibubarkan Presiden Soekarno melalui Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959, sebelum berhasil menyelesaikan tugasnya. Dekrit
itu, dengan segala kontroversi yang terdapat di dalamnya, menegaskan berlakunya
kembali UUD 1945. Jadi, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sampai tibanya
era reformasi, sebenarnya tidak pernah terjadi “perubahan�? undang-undang
dasar. Apa yang terjadi ialah “pergantian�? undang-undang dasar, dari yang
satu ke yang lainnya, seperti saya uraikan tadi. Istilah yang saya gunakan ini,
dijadikan sebagai acuan dalam perdebatan Badan Pekerja MPR, ketika membahas
perubahan UUD 1945 di era
reformasi.       Â
·
Pandangan saya bahwa UUD 1945 harus diubah mengingat
latar belakang historis penyusunanannya, maupun tuntutan perkembangan zaman,
bukanlah pendapat yang populer di era sebelum reformasi. Pendapat yang
dikembangkan pada masa itu ialah UUD 1945 tidak dapat diubah. Kalau ingin
diubah harus melalui referendum, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR. Saya
berpendapat bahwa TAP MPR itu menyalahi ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Pendapat
Profesor Notonagoro ketika itu, juga dijadikan pegangan, bahwa Pembukaan UUD
1945 tidak boleh diubah. Jika pembukaan diubah, maka akan terjadi pembubaran
negara. Banyak negara di dunia ini yang mengubah seluruh konstitusinya, tanpa
menyebabkan bubarnya negara itu. Saya berpendapat, negara kita ini baru bubar,
jika kita mencabut teks Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Negara kita sudah
ada sejak tanggal 17 Agustus 1945, tanpa bergantung kepada UUD 1945 yang baru
disahkan sehari kemudian.    Â
·
Ketidakinginan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 di
zaman sebelum reformasi, bukanlah masalah hukum tata negara, tetapi masalah
politik. Politik dapat menentukan diubah atau tidaknya UUD. Tentu perubahan itu
dilakukan dengan cara-cara demokratis dan konstitusional. Di luar cara itu,
adalah perubahan melalui revolusi. Jika cara ini ditempuh, maka sangat
tergantung apakah tindakan itu dapat dipertahankan atau tidak. Jika berhasil,
maka konstitusi itu akan diterima dan kemudian menjadi sah. Jika gagal, maka
perubahan itu dengan sendirinya pula akan gagal. Mereka yang terlibat dalam
revolusi yang berhasil, mungkin akan menjadi “pahlawan�?. Sebaliknya kaum
revolusioner yang gagal, mungkin akan dituduh sebagai “pengkhianat�?.
·
Latar
Belakang Perubahan
Keinginan
politik untuk mengubah UUD 1945 di era reformasi didorong oleh
pengalaman-pengalaman politik selama menjalankan UUD itu dalam dua periode,
yakni periode yang disebut sebagai Orde Lama (1959-1966) dan periode yang
disebut sebagai Orde Baru (1966-1998). Seperti saya katakan di awal ceramah
ini, UUD 1945 memang dibuat dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga mengandung
segi-segi kelemahan, yang memungkinkan munculnya pemerintahan diktator, baik
terang-terangan maupun terselubung, sebagaimana ditunjukkan baik pada masa
Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. UUD 1945 sebelum amandemen,
memberikan titik berat kekuasaan kepada Presiden. Majelis Permusyawaratan
Rakyat, meskipun disebut sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, dan penjelmaan
seluruh rakyat, dalam kenyataannya susunan dan kedudukannya diserahkan untuk
diatur dalam
undang-undang.        Â
·
Presiden Soekarno bahkan mengangkat seluruh anggota MPR
tanpa proses Pemilu. Presiden Soeharto telah merekayasa undang-undang susunan
dan kedudukan MPR, sehingga majelis itu tidak berdaya dalam mengawasi Presiden,
dan bahkan tidak dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara optimal. UUD
1945 juga mengandung ketidakjelasan mengenai batas periode masa jabatan Presiden.
MPRS pernah mengangkat Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup. MPR
Orde Baru berkali-kali mengangkat Presiden Soeharto, sampai akhirnya, atas
desakan berbagai pihak, menyatakan berhenti di era awal reformasi, tanggal 21
Mei 1998. Keinginan untuk menghindari kediktatoran, baik terbuka maupun
terselubung, dan membangun pemerintahan yang demokratis, menjadi latar belakang
yang penting yang mendorong proses perubahan UUD 1945 pada era
reformasi.       Â
·
Keinginan untuk menata ulang kedudukan lembaga-lembaga
negara, agar terciptanya “check
and balances�? juga terasa begitu kuatnya. Demikian pula
keinginan untuk memperjuangkan tegaknya hukum dan pengakuan serta perlindungan
terhadap hak asasi manusia. Keinginan untuk memberikan perhatian yang lebih
besar kepada daerah-daerah juga demikian menguat, sehingga
kewenangan-kewenangan Pemerintah Daerah juga perlu diperkuat, untuk mencegah
terjadinya disintegrasi. Pada akhirnya, keinginan yang teguh untuk membangun
kesejahteraan rakyat, yang telah lama menjadi harapan dan impian, terasa
demikian menguat pada era reformasi. Itulah antara lain, latar belakang
keinginan dan aspirasi yang mengiringi perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Namun perubahan itu dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil
Pemilu 1999, yang diikuti oleh partai-partai politik, baik lama maupun baru,
yang ternyata tidak menghasilkan kekuatan mayoritas. Dalam situasi seperti itu,
dapat dipahami jika perumusan pasal-pasal perubahan penuh dengan
kompromi-kompromi politik, yang tidak selalu mudah dipahami dari sudut pandang
hukum tata negara. Proses perubahan itu dipersiapkan oleh Panita Ad Hoc MPR,
yang mencerminkan kekuatan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya. Akhinya
terjadilah empat kali perubahan, dalam bentuk penambahan dan penghapusan
ayat-ayat, namun secara keseluruhan, tetap terdiri atas 37 Pasal, yang secara
keseluruhan, ternyata lebih banyak materi muatannya dari naskah sebelum
dilakukan perubahan.
·
Meskipun terjadi empat kali perubahan, namun semua
fraksi yang ada di MPR sejak awal telah menyepakati untuk tidak mengubah
Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, pikiran-pikiran dasar bernegara
sebagaimana termaktub di dalamnya, tetap seperti semula. Namun implementasi
pikiran-pikiran dasar itu ke dalam struktur ketatanegaraan, sebagaimana akan
saya jelaskan nanti, memang cukup besar. Kesepakatan untuk tidak mengubah
Pembukaan ini, memang menunjukkan keinginan fraksi-fraksi untuk menghindari
perdebatan yang bersifat filsafat dan ideologi, yang nampaknya memetikÂ
pelajaran dari sejarah perdebatan, baik dalam proses penyusunan UUD 1945 di
masa pendudukan Jepang maupun perdebatan-perdebatan yang sama di Konstituante.
Dua fraksi, yakni Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Bulan
Bintang memang mengusulkan perubahan ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945,
sebagaimana teks Piagam Jakarta, khusus yang berkaitan dengan syariat Islam.
Namun perubahan itu tidak mereka tujukan kepada Pembukaan sebagaimana kedudukan
awal dari Piagam Jakarta. Usul perubahan itu kemudian mereka tarik, mengingat
kemungkina